Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah 5 tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.
Oleh: Widodo Suhartoyo
Stunting berpotensi memperlambat perkembangan otak. Dampak jangka panjangnya berupa keterbelakangan mental, rendahnya kemampuan belajar, dan risiko serangan penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, hingga obesitas.
Dampak jangka panjang lainnya, stunting tidak hanya mengakibatkan pendek, tetapi juga berkaitan dengan produktivitas. Bisa dibayangkan beban negara ini 20 atau 30 tahun yang akan datang jika terdapat sepertiga bangsa Indonesia yang tidak produktif dan menjadi beban bagi orang lain akibat stunting.
Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 menyebutkan: terdapat 24,4% anak yang stunting. Ini artinya, setiap empat anak balita Indonesia ada satu anak yang stunting.
Nah, kalau kita mendengar kata stunting, kita akan segera mengasosiasikan stunting dengan masalah gizi atau masalah kesehatan.
Juga, sedikit atau bahkan tidak ada yang menyebut stunting memiliki kaitan dengan profesi pekerja sosial. Benarkah demikian?
Stunting, sesungguhnya bisa dengan mudah dicegah. Pun, pencegahannyapun bisa dilakukan oleh semua profesi. Tidak hanya dokter, tetapi juga nutrisionist, psycholog atau pendidik, dan tentu saja Pekerja Sosial.
Dari sinilah, menurut saya, pekerja sosial seharusnya bisa mengambil peran yang tidak kecil. Terlebih, penyebab stunting sebagain besar (70 %) disebabkan oleh faktor-faktor non medis dan non gizi.
Dimana pekerja sosial?
Saat ini, belum banyak pekerja sosial yang secara intens menekuni atau berkecimpung dalam program percepatan penuruan stunting ini. Padahal, kita tahu persis bahwa akibat stunting adalah pada produktivitas dan kualitas manusia yang harusnya juga menjadi sasaran utama bagi pekerja sosial?
Saya, sangat senang ketika Poltekesos sebagai penghasil pekerja sosial paling tua dan paling banyak di Indonesia menyatakan minatnya untuk bekerja dalam isu stunting. Bekerja sama dengan Tanoto Foundation, sebuah lembaga filatropi yang bergerak di bidang pendidikan, Poltekesos memulai programnya dengan melakukan assessment untuk mengetahui situasi dan kondisi dimana intervensi stunting akan dilakukan.
Berdasarkan hasil assessment inilah dibuat TOC-nya (Theory of Change) untuk kemudian membuat perencanaan intervensinya. Ada setidaknya tiga program yang dikembangkan oleh Poltekesos untuk program percepatan penurunan stunting, yaitu: membuat modul tentang stunting untuk bahan kuliah, membuat panduan bagi mahasiswa dan dosen ketika akan melakukan pengabdian masyarakat dan melakukan AKSI HANTING (Aksi Pencegahan Stunting).
Dari semua hal yang dilakukan oleh Poltekesos tersebut, fokus pada programnya adalah lebih pada komunikasi perubahan perilaku yang saya tahu persis acuannya adalah Human Behaviour and Social Environment (HBSE).
Poltekesos juga sedang mendiseminasikan AKSI HANTING ini ke perguruan tinggi lainnya yang mempunyai Prodi Kesejahteraan Sosial/Pekerjaan Sosial yang tergabung dalam ASPEKSI (Asosiasi Pendidikan Pekerjaan dan Kesejahteraan Sosial Indonesia).
Kemensos juga telah melatih banyak pendamping sosial PKH-nya (yang sebagain besar adalah juga berlatar belakang pendidikan pekerja sosial) untuk melakukan pendampingan keluarga penerima manfaat untuk melakukan pencegahan stunting.
Dari AKSI HANTING yang dilakukan oleh Poltekesos, yang proses dan hasilnya sangat menjanjikan, dan dari pendampingan yang dilakukan oleh pendamping sosial PKH terhadap keluarga penerima manfaat mengenai stunting ini, telah membuktikan bahwa pekerja sosial tidak hanya bisa bekerja di isu-isu yang sudah menjadi trade mark atau labelnya pekerja sosial di Indonesia, yang melulu berkutat di isu kemiskinan, bencana, disabilitas, lanjut usia, dll.
Pekerja sosial, melalui Poltekesos telah berani keluar dari zona nyamannya dengan bekerja di isu-isu seperti stunting. Termasuk juga isu-isu kesehatan mental, pengembangan anak usia dini, gender dan lain-lain.
Inilah sebagian isu-isu kontemporer yang (semestinya) semakin bisa direspon secara profesional oleh pekerja sosial.
Ayo pekerja sosial, kamu bisa!
- Penulis adalah Ketua Umum Independen Pekerja Sosial Profesional Indonesia periode 2019-2022