Universitas Nasional sebagai salah satu kampus tertua di Indonesia yang memiliki jurusan ilmu sosial dan politik, menyelenggarakan Konferensi Internasional Ilmu Sosial dan Politik atau International Conference on Social and Political Science (ICOSOP) II. Kegiatan digelar di Gedung Auditorium Cyber Unas, Jakarta, Rabu (26/10/2022).
Dihadiri Ilmuwan Lintas Negara, Unas Gelar Konferensi Internasional Bahas Mobilitas, Budaya dan Koneksi Sosial
Universitas Nasional sebagai salah satu kampus tertua di Indonesia yang memiliki jurusan ilmu sosial dan politik, menyelenggarakan Konferensi Internasional Ilmu Sosial dan Politik atau International Conference on Social and Political Science (ICOSOP) II. Kegiatan digelar di Gedung Auditorium Cyber Unas, Jakarta, Rabu (26/10/2022).
“Penyelenggaran ICOSOP II fokus pada masalah mobilitas, perjumpaan budaya, dan saling koneksi sosial. Ini menjadi bagian penting dalam pola hubungan sosial, pembentukan institusi, dan nilai-nilai baru masyarakat,” demikian disampaikan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas, Dr. Erna Ermawati Chotim.
Tema tersebut, lanjut Dekan FISIP Unas itu, berangkat dari kenyataan kemajuan teknologi digital dan transportasi abad ke-21 menjadikan ruang geografis yang sebelumnya menjadi kendala perjumpaan lintas budaya dan bangsa terlampaui.
Menurut Erna, ICOSOP II merupakan kegiatan reguler FISIP Unas yang mempertemukan dosen dan peneliti untuk bertukar pikiran tentang isu-isu mutakhir dalam ilmu sosial di dunia. “Acara ini menjadi ajang bagi FISIP Unas untuk mendapatkan pengakuan internasional. Kegiatan ini adalah kegiatan berkesinambungan yang berjalan setiap tahun,” ungkap Dr. Erna.
Tahun depan, lanjutnya, direncanakan kegiatan serupa akan digelar dengan merancang isu strategis seperti perkembangan geopolitik global, sustainabilitas kehidupan masyarakat kota abad ke-21, dan politik kewargaan.
Unas merupakan salah satu pionir perguruan tinggi di Indonesia yang memprakarsai jurusan sosial dan politik pada tahun 1949. Ketika kampus ini didirikan, diawali dengan nama Fakultas Sosial Ekonomi Politik (FSEP), kemudian berevolusi menjadi Fakultas Ilmu Politik (FIP) dan Fakultas Ekonomi (FE).
Pada saat itu, di Universitas Indonesia (UI) digunakan nama Fakultas Ilmu Sosial (FIS). Kemudian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memadukan pola Unas dan UI menjadi FISIP yang kini diikuti perguruan tinggi lainnya.
FISIP Unas yang memiliki akreditasi A, kini memiliki lima program studi, yakni; ilmu politik, hubungan internasional, ilmu komunikasi, sosiologi, dan administrasi publik. Termasuk S2 dan S3 ilmu politik, dan S2 administrasi publik. Tahun depan akan membuka S3 administrasi publik. Jenjang S2 dan S3 berada di bawah payung Sekolah Pascasarjana Unas.
Menurut Ketua Panitia, Dr. Andi Achdian, pelaksanaan konferensi yang berlangsung selama satu hari ini diikuti 55 peserta dari berbagai negara seperti Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Malaysia, dan Indonesia. Menghadirkan pembicara undangan, peserta panel, partisipan aktif.
Andi Achdian dari Pusat Kajian Sosial dan Politik (PKSP) FISIP Unas membahas karakter sifat utama yang membentuk perkembangan budaya manusia dalam perjalanan panjang sejarah. “Mobilitas yang lintas benua, lintas negara, dan lintas budaya, bagaimanapun belum mendapatkan perhatian yang layak dari para peneliti ilmu sosial di Indonesia,” ujarnya.
Profesor. Dr. L. Ayu Sarasvati dari Departmen of Women, Gender, and Sexuality Studies, University of Hawai’i, dalam presentasinya menunjukkan kenyataan penting tentang “neoliberal logic” yang melahirkan kondisi semakin banyak seseorang menghabiskan waktu dalam media sosial, semakin berjarak (terdiskoneksi) seseorang.
“Kenyataan ini memberikan gambaran kontras tentang sifat media sosial yang menjanjikan saling hubung (konektivitas) yang dikuasai logika neoliberal,” ujar Ayu Saraswati.
Dr. Timo Duille, peneliti dari Bonn University, menyampaikan gagasannya tentang kegamangan yang muncul dalam proses perjumpaan budaya. Ia mengulas tuduhan anti-Semitisme dari media Jerman terhadap tema pameran yang digelar seniman Indonesia dalam pameran seni Documenta.
“Persoalan pengalaman sejarah berbeda menjadi dasar terjadinya benturan diskursus antara media Jerman dengan para seniman Indonesia,” ungkap Timo.
Prof. Dr. Aris Munandar menyampaikan relasi manusia dan alam menjadi faktor penting dalam perkembangan industri turisme, manajemen sampah, dan keberdayaan berkelanjutan. Keseluruhan tema-tema tersebut membentuk rangkaian tentang bagaimana mobilitas, perjumpaan budaya, dan konektivitas menjadi bagian tak terhindar dalam dunia sosial kita.
“Ilmuwan sosial sekarang dihadapkan pada kenyataan untuk mengembangkan kembali perspektif dan metode kreatif ilmu sosial menanggapi perkembangan dunia kontemporer sekarang,” ungkap guru besar FISIP Unas.
Selain itu ada pula Profesor Dr. Datuk Shamsul Amri Baharuddin dari Institut of Ethnic Studies, The National University of Malaysia, Assoc Prof. Dr. TB Massa Djafar dari Sekolah Pascasarjana Unas, dan Christoper Kelly, M.Sc dari King’s College London, serta beberapa pembicara lainnya.
Ada beberapa sub-tema, seperti Kewargaan Global dan Resiliensi Sosial, Perempuan dan Internasionalisasi Kerja; Konsekuensi Mobilitas Lintas Negara; Teknologi Digital dan Masa Depan Demokrasi; Diplomasi Digital dan Paradigma Hubungan Internasional Baru; Media Baru dan Kebijakan Publik, Hybridisasi Identitas dan Ikatan Kebudayaan; Tata Kelola Digital dan Kualitas Layanan Publik; dan Keadilan Sosial di Kota-Kota Indonesia.(*)